Dan kami menjadikannya makhluk yang lain, maka Maha Suci Allah, Pencipta yang paling baik. Tuhan, Manusia dan Dunia adalah tiga hal yang senantiasa menjadi tema pokok pembahasan Filsafat Agama sepanjang sejarah. Seluruh jerih payah para filosof, kaum teolog dan ilmuan lainnya diarahkan untuk memecahkan dan mendapatkan jawaban yang memuaskan mengenai ketiga hal tersebut. Karena hasil dari perenungan-perenugan itu kemudian akan membantu manusia dalam merumuskan system-sistem yang akan dipakai dalam menjalanikehidupan baik sebagai individu apalagi dalam kehidupan bermasyarakat.
Salah satu sub pembahasan yang urgen terkait manusia adalah pembahasan tentang jiwa /nafs. Disebut urgent karena sebelum manusia membuktikan keberadaan sesuatu diluar dirinya, maka terlebih dahulu dia harus membuktikan keberadaan dirinya. Apakah manusia terdiri dari dua dimensi yakni dimensi ruh dan badan, sebagaimana yang lazim dikatakan oleh kaum teolog, ataukah manusia haya terdiri dari jasad material sebagaimana yang biasa diceramahkan oleh kaum empiris materealis ?. Selanjutnya, Jika manusia memiliki 2 dimensi bagaimanakah hubungan diantara keduanya? Dan bagaimanakah proses terciptanya nafs/jiwa dalam diri manusia?. Demikianlah sederet pertanyaan yang mesti ditemukan jawabannya. Karena jawabannya dari pertanyaan2 itu akan berimplikasi terhadap tiga hal yaitu:
Untuk membuktikan keberadaan nafs/jiwa, maka sebelumnya dibahas dengan cara apa manusia memiliki pengetahuan tentang dirinya. Apakah dengan cara pengetahuan Khusuli(representatif/korespondensi) ataukah dengan cara khuduri (Presentatif/kehadiran)?
Pengetahuan khusuli adalah pengetahuan yang didapatkan melalui persepsi indra terhadap fenomena diluar diri manusia. Atau dalam kata lain, kaitan antara sesuatu yang ada dalam konsepsi dengan sesuatu yang ada diluar. Jika kita memperoleh pengetahuan terkait tentang nafs dengan cara seperti ini itu berarti nafs manusia itu terpisah dari dirinya dan hanya bisa dipersepsi melalui indera, oleh karena itu berarti nafs/jiwa adalah sesuatu yang materi. Jika nafs adalah materi tentu saja kita harus menerima klaim kaum empiris/ materialis dan konsep-konsepmengenai Tuhan dan eskatologi harus ditolak. Akan tetapi konsepsi manusia terkait tetang dirinya pada dasarnya tidaklah bersumber dari sesuatu diluar dirinya. Justeru manusia mengkonsepsi sesuatu diluar dirinya hanya untuk mencocokkannya dengan konsep tentang dirinya sendiri, misalnya konsepsi manusia tentang kabahagiaan, konsep ini tidak bersumber darisesuatu diluar manusia, tapi konsep tersebut hadir dalam diri manusia dan mendorong manusia untuk memenuhinya, karena itu kemudian manusia melakukan pencarian terkait sesuatu diluar dirinya untuk memenuhi dorongan tersebut. Misalnya ; manusia berupaya menumpuk harta sebanyak-banyaknya. Karena menurutnya hal itu untuk memenuhi dorongan dirinya untuk bahagia.(L)
Ideologi ini berdasarkan filsafat individualisme dan berusaha untuk menghapus unsur-unsur kemasyarakatan dan sikap gotong-royong . Sehingga, Jelas bahwa ideologi ini sangat bertentangan dengan kebudayaan dan sistem kemasyarakatan rakyat Indonesia. Dalam pola pemikiran neo-liberalisme, peraturan-peraturan ekonomilah yang harusmenguasai sektor-sektor yang lain, bukan sebaliknya. Apa saja yang menghalangiperkembangan sektor ekonomi harus dicabut, termasuk peraturan-peraturan dan undang-undang pemerintah. Akibatnya, pemerintah tidak boleh lagi melestarikan lingkungan hidup,kesehatan, kesejahteraan rakyat, dan kedaulatan nasional, jika dianggap bahwa kebijakan-kebijakan itu menghambat “ Perkembangan ekonomi “ .Tapi secara faktual dalam beberapa tahun belakangan ini , alih – alih membawa kesejahteraan malah kesenjangan sosial semakin besar di hampir semua negara di dunia ini dibawah rezime neo-liberalisme.Dampak dari penerapan neoliberalisme di Indonesiapun mengakibatkan Hampir semua bidang-bidang dalam bernegara (ekonomi, politik, budaya dll) dan sendi–sendi demokrasi kita seakan kehilangan makna yang dalam konstitusi tertinggi negara ini meniscayakan kesejahteraan sosial bagi seluruh bangsa. Namun realitas yang ditampilkan dari negara yang katanya telah menganut sistem demokrasi justru ketimpangan yang semakin melebar antara orang kaya dengan orang miskin. Justru yang ditampilkan adalah hubungan yang sangat romantis dalam berbagai hal antara pemerintah dan pengusaha.
Sistem demokrasi yang saat ini dialami oleh bangsa ini justru hanya membuka “keran” yang lebar dan melegalkan hubungan-hubungan yang berlebihan dan tidak pantas dipertontonkan oleh petinggi negara ini.
Beberapa paket kebijakan membuat nuansa neoliberalisme mulai bertiup dengan kebijakan privatisasi/swastanisasi perusahaan negara untuk memuluskan penguasaan dan pengelolaan kekayaan sumberdaya yang memperlihatkan kecenderungan keberpihan negara dalam mengakomodir kepentingan pengusaha sehingga kepentingan rakyat terabaikan , Yang paling dekat dengan kita adalah pelanggaran yang nyata terhadap UUD pasal 33. Banyak potensi sumber daya alam yang dimiliki negara diserahkan secara sukarela kepada pengusaha untuk dikelola dan dibagi keuntungannya yang tidak seberapa kepada negara. Kekayaan negara ini dieksploitasi oleh pengusaha atas nama investasi yang dilegalkan dalam UU penanaman modal baik itu asing maupun dalam negeri. (an)
1 komentar: